Menghafal dan Memahami

Salah seorang pembicara seminar hari ini adalah tangan kanan Rahwana, yakni Kala Marica. “Jangan membebani para murid dengan pelajaran yang sifatnya menghafal, menghafal, dan menghafal… Hmmm, hadirin… Saya sendiri bisa punya ilmu untuk berubah-ubah wujud, ya, bukan karena hafalan… Saya itu tidak hafal mantranya. Sumpah. Guru saya dulu cuma menjelaskan asal usul mantra. Juga mengapa mantra itu berbunyi seperti itu… Setelah tahu apa dan mengapanya, setelah tahu bagaimana-bagaimananya, lalu saya menciptakan mantra sendiri, dah. Sip” begitu ceramah Kala Marica.

Peserta seminar tiba-tiba terskesiap. Wah, Kala Marica mendadak jadi kijang keemasan. Sangat memikat. Ada bintik-bintik warna keperakan. Ini persis sekali dengan kijang kencana, yang kelak membuat Sinta ngiler di Hutan Dandaka.

Gaduhlah seribuan peserta seminar. Peserta yang datang dari Negeri Magada, Negeri Lokapala, Negeri Kiskenda, dan lain-lain, semua terperangah. Gila! Pembicara seminar ini tak cuma serba-keluar tak beraturan. Ia tampil dengan bukti, Cing.

“Tenang.. Tenang…” pinta Kala Marica masih dalam wujud kijang. “Jangan melihat siapa yang bicara, tetapi dengarlah apa yang saya bicarakan… Di Alengka, Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu, kami tidak pernah mengajarkan hafalan. Yang penting adalah bernalar. Penalaran!”

Selanjutnya, Kala Marica menjelaskan tentang bagaimana rajanya, Rahwana, pernah berperang dengan Raja Maespati, Arjuna Sasrabahu. Juga bagaimana Rahwana berhasil membunuh kesatria amat saktu, Sumantri alias Suwondo, mahapatih Arjuna Sasrabahu.

Kurikulum Alengka, katanya, tidak pernah menekankan hafalan. Misalnya tahun berapa peperangan itu terjadi, Atau, berapa jumlah putri yang turut bunuh diri bersama Dewi Citrawati lantaran Sang Dewi mendengar desas desus bahwa suaminya, Arjuna Sasrabahu, mati di tangan Rahwana.

“Itulah. Jadi, yang kami tekankan adalah soal mengapa dan bagaimananya. Itu yang paling penting dalam kurikulum. Kurikulum untuk membentuk karakter bangsa!” Tegas Kala Marica yang sudah mengubah dirinya menjadi Rujak-Soto Banyuwangi.

Walau sudah berupa makanan dengan petis dan babat yang kemampul-mampul, Kala Marica tetap bisa berpidato.

“Kami bahkan tidak menyuruh anak-anak menghafal nama Suwandagni, ayah Sumantri, atau nama Sukasrana, adik Sumantri,” demikian pidato Marica. Pidato itu melalui gerakan tahu, tempe, dan kacang panjang di sela-sela rebusan babat di mangkuk Rujak-Soto Banyuwangi yang bergoyang-goyang.

“Yang penting, kami tekankan bahwa Sumantri itu masih saudara sepupu Arjuna Sasrabahu. Ini sami mawon dengan Ramaparasu yang kelak membunuh Arjuna Sasrabahu. Kedua tokoh ini juga masih sepupu. Hafalan ndak penting. Yang kami garis bawahi, mengapa Ramaparasu membunuh Arjuna? Mengapa?”

“Karena, Arjuna lunglai setelah ditinggal Citrawati, titisan Dewi Widowati, yang bunuh diri. Saat itu Dewa Wisnu sudah tidak bersemayam lagi di raganya. Dibunuhlah ia oleh Ramaparasu yang bermata batin tajam. Tujuannya mulia, agar Wisnu segera menitis kembali ke dalam raga Rama untuk menyambut Widowati yang menitis ke Sinta.”

“Jadi, seklai lagi, Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu yang datang jauh-jauh dari belahan dunia,dalam pendidikan, yang penting adalah pemahaman… Bukan hafalan.” tandas Marica menutup ceramahnya.

Tinggalkan komentar